Rabu, 17 Juni 2009

Garin Nugroho Bangga Terhadap Sineas Muda Sekarang

Sutradara handal pembuat film 'Under The Tree' kembali beraksi dalam ajang LA LIGHTS INDIE MOVIE yang menjadi salah satu juri dalam ajang tersebut.


Ia mengatakan dalam ajang ini sudah banyak sineas-sineas muda yang semakin kreatif dan kritis terhadap industri film saat ini.

"Sekarang saja sudah mulai kelihatan beberapa nama yang saya amati, saya tidak perlu menyebut namanya, tapi saya amati kok kualitas film yang dihasilkan jadi jauh menurun. Ada juga yang tetap konsisten dalam film berkualitas seperti misalnya Riri Riza." ungkap Garin tadi malam seusai acara malam final LA NIGHTS INDIE MOVIE di Planet Hollywood Jakarta.

Sebelumnya ia dan keempat juri lainnya yaitu John De Rantau, Arturo GP, Tommy F Awuy dan Dahono Fitrianto, memang mengamati 8 film dari total 50 sinopsis peserta yang terpilih dan disatukan dalam satu kelompok produksi untuk menciptakan sebuah karya film pendek dalam ajang kompetisi pembuat film anak muda LA LIGHTS INDIE MOVIE.

Dan dalam ajang ini, telah terpilih para pemenang dari berbagai kategori, untuk film Gue Cara Gue, 'Anak Porong' dari Surabaya menadapat predikat Best Movie yang ditulis oleh finalis Panca Javandalasta, serta kategori Bikin Film Bareng Artis dimana film 'Mengejar Untung' oleh sutradara Ringgo Agus Rahman menyabet predikat Favorit Movie. (Ezz/Foto:Ezz)

Masaalah film dan djalan keluar bagi industri film nasional

Ada orang2 tertentu jang setjara spekulatif berpendapat bahwa biarpun film Amerika jang terbanjak diimport, tapi dalam pertundjukan2 lebih banjak film India diputar. Statistik jang dibawah ini bisa membantah pendapat jang spekulatif itu. Dikeresidenan Surakartapada tahun 1956 telah diputar sejumlah 1557 film, jang menurut perintjiannja adalah seperti berikut: Amerika 992, Indonesia 227, India 138, (Tiongkok 64, Inggreris 44, Malaya 29, Itali 26, Philipina 12, Sovjet Unie 9, Perantjis 5, Mesir 5, Djepang3, Djerman 3. Dari fakta2 diatas, djelaslah bahwa move ‘anti film India” itu adalah keliru, dan digerakkan dengan maksud2 tertentu. Belum lagi diperhitungkan faktor2politis dalam hubungan konperensi Asia Afrika, dimana Indonesia mendjadi eksponent penting. KULTURIL Dari segi kulturil film2 kita sudah bersifat negatif. Dalam pandangan umum film hanja merupakan “hiburan” , jadi sematjam barang lux, identik dengan politik Pemerintah kolonial dulu. Orang pergi ke bioskop karena tekanan2 kompensasi, dimana orang bisa mengetjap,, mimpi” jang indah dengan bayaran murah. Karena dia sudah ditempatkan sebagai barang lux, hiburan tidak heran djika penontot2 lebih gemar menonton film asing, jang lebih banjak bisa memenuhi rangsang kompensasi dan harapan “bermimpi tadi, dalam hal ini ialah film2 chajal, film2 paha, film2 musik dan comedie murah. Sikap jang negatif ini achirnja merupakan kesempatan bagi kaum imperialis untuk melakukan intervensi kebudajaan lewat film2nja jang penuh dengan keberanian,sex appeal dsbnja. Karena sikap kita jang negatif itu bukan sadja ekonomis pengusaha2asing itu bertambah kokoh kedudukannja, tapi kulturil djuga bertambah berpengaruh jang tidak sedikit menimbulkan exces2 djelek, apati, epigonisme dsbnja. Ia bukan sadja melumpuhkan film dalam artian industri dan ekonomi tapidjuga sekaligus mematahkan semangat revolusioner jang sangat diperlukan bangsa dan negara dalam masa pembangunannja. Karena opinieumum telah dibentuknja kesuatu bentuk negatif berupa “opinie hiburan”, dengan sendirinja pengusaha2 film nasional jang hendak memproduksi film, harus mengikuti norma jang mendjadi umum itu, dengan membikin film2 jang sesuai dengan itu, jang identik dengan tudjuan kulturil film2 asing ala Rock and Roll, artinja identik dengan usaha mematahkan usaha semangat revolusionerisme nasional. Kalau ada jang merombak dan membikin film2 jang berlainan dengan tradisi itu, misalnja film2 bersifat realisme berlatarbelakang keadaan sosial sendiri bukan, bukan sadja ia harus mengalami gentjatan dari distributeur2, exhibitor2 jang memang ‘’berdagang’’, tapi djuga dari segi njensoran jang juga berdiri atas dasar tradisi tsb. Dengan sendirinja tidak tidaklah mengherankan djika film, dipandang dari sudut kepentingan nasional, menjadi sesuatu jang negatif. Karenanja persoalan film bukan sadja mengantjam artis2 film, jang harus mengimitir watak2 jang asing baginja, tapi djuga mengantjam seluruh pekerdja2 kebudajaan, kaum pendidik, dsbnja. Bagaimana akibat film2 seperti Rock and Roll, film cowboy jang mempropagandakan djeki dsbnja. Adalah tjiri2 dari intervensi kebudajaan imperialis dan jang terang merugikan kepentingan nasional kita. GEDJALA2 MONOPOLI Pada tanggal 16 Maret jbl. Tiba pengusaha2 studio studio di Djakarta menjatakan menutup studionja. Keluar sikap ……..diketahui sebagai sikap PPFI, tapi ada banjak anggota2 PPFI jang tidak tahu menahu dengan penutupan itu. Keputsan tsb, adalah keputusan pemilik2 studio. Diantara studio2 jang ditutup itu, terpenting ialah Persari, Perfini dan Sanggabuana, jang menurut setahu orang masih dalam tanggungan fiduciare dengan beberapa bank. Bahkan Sanggabuana baru dibeli pada bulan Oktober dari credit Mr. Jusuf Wibisono selaku Menteri Keuangan (menurut siaran beberapa koran di Djakarta). Alasan2 penutupan itu seperti jang disiarkan oleh PPFI melalui naskah Pernjataan Bersama pemilik studio, adalah karena pemerintah membikin tindakan2 jang merugikan pemilik studio tsb., antaranja penambahan djumlah importir dan tidak didjalankannja usul2 panitia penjelidikan industri film jang dibentuk pemerintah dan diketuai oleh Mr. Arifin, berupa proteksi pada perindustrian film nasional. Tapi pokok2 terpenting seperti jang didapati dalam saran2 PPFI adalah logis. Dan djika saran2 PPFI itu diterima oleh pemerintah, jang paling banyak menarik keuntungan. Tjuma harus diingat bahwa pengusaha film sekarang ada 2 golongan jang punya studio (jang umumnja dapat credit dari bank2, pemerintah) dan kedua independent producers jang tidak punja studio dan tidah dapat credit dari siapapun. Golongan jang kedua harus menjewa studio milik golongan pertama. Karena film dalam negeri akan terdjamin, dengan sendirinja independent producers itu mendapat kesempatan jang “sedikit sekali untuk menjewa studio, sebab pemilik2 studio aktif dilapangan produksisendiri. Dengan demikian independent producers akan gulung tikar, atau terpaksa menerima sarat2 berat dari pemilik2 srudio. Sekurang2nja distribusi film jang dibikin, diserahkan pada distributor sipemilik studio. Ini masih baik, tapi lebih tjelaka lagi djika sipemilik studio setjara halus memaksa siproducer untuk melakukan joint-production sebagai sarat untuk “memakai studio”. Dengan begitu keluar seolah2 produksinja sendiri, dan itu dapat dipakai untuk menarik bantuan sari dana2 jang disediakan pemerintah. Gedjala2 itu sudah terlihat, apalagi dengan maksud2 untuk mengusulkan supaja producer2 diberi prioritet import. Dengan sendirinja prioritet import akan djatuh ketangan sipemilik studio, jang praktis hanja dia jang memproduksi karena punja studio sendiri. Studio2 ketjil seperti Tan & Wong, Golden Arrow, Bbintang Surabaja, praktis achirnja tidak akan dapat menjaingi studio2 jang punya equipment lengkap dan jang politis punya kedudukan lebih baik, lebih positif. Tidak heranlah djika kelak achirnya, industri film nasional dikuasai oleh beberapa orang sadja. Ini masih bisa diterima, selama industri film itu mendjalankan politik nasional dan menghasilkan film2 jang tidak merugikan kepentingan2 kita, ditindjau dari sudut anti imperialisme dan dari sudut pembangunan nasional desegala lapangan. Dipandang dari segi sedjarahnja, keadaan2 ini menimbulkan keraguan. Dapatkah sifat monopoli oleh beberapa orang mendudukan film pada posisi jang positif, lepas dari sifat dan kepentingan politik monopolinja ? terus terang, ini sesuatu tang sukar dipertjaja. Dari peladjaran2 jang dapat ditarik dari pengalaman2 perindustrian film dinegeri2 lain, di Eropah, maupun Asia, bukan tidak sering terdjadi bahwa golongan jang hendak mendjalankan sistem monopoli dagang berkompromi dengan kaum monopoli asing. Dalam hal ini adalah sangat menarik perhatian desas desus jang terdengar diluar, dikalangan orang film bahwa APMAI akan mengadakan aksi bersama dengan persatuan distributeur3 lainja, untuk “memaksa” pengusaha2 bioskop agar memutar film2 Indonesia. Kalau ini benar, berhasillah golongan tertentu membelokkan perhatian, bahwa jang menimbulkan kelemahan perindustrian film nasional bukanlah AMPAI jang hendak menekan mikiran, djika tidak melihat dasar2 kerdjasama dengan golongan pengusaha2 film tertentu. Dan anehnja politik AMPAI jang hendak menekan pengusaha2 bioskop itu menimbulkan kegembiraan dikalangan tertentu, dan disebut sebagai suatu, “goodwill” sambil melupakan bahwa jang menimbulkan kesulitan2 pokok ilah politik film ala kolonial jang mendjamin hidupnja AMPAI dan AMPAIlah jang sebenarnya melumpuhkan prindustrian film nasional. Dan bukan tidak mungkin mereka ini turut membantu usaha kearah monopoli oleh segolongan orang, jang tentunja sesudah melihat djaminan2 dan proteksi2 pula, baik ekonomis maupun kulturil. DJALAN KELUAR Melihat kenjataan2 jang berlaku, teranglah bahwa masalaah nasional jang harus dihadapi dengan sikap tegas, dan setjara integraal, dengan prinsip pokok : bahwa film dan industri film nasional harus didjadikan sendjata pembangunan nasional desagala lapangan ekonomis dan kulturil. Soal2 teknis administratif, soal2 juridis formil jang negatif. Karenanja djalan keluar bagi industri film dan film nasional ialah : a. Segera dibentuk suatu Dewan Film, terdiri dari wakil2 pemerintah wakil pengusaha, wakil artis, wakil kaum buruh ahli2 kebudajaan, ahli2 pendidikan, dan dengan satu dasar bahwa Dewan itu berjudjuan mentjari nilai2 ekonomis dan kulturil dari industri dan film Indonesia. b. Studio2 film tidak dapat hanja diserahkan pada modal2 partikulir, tapi harus dari modal gabungan pemerintah dan partikulir (modal nasional) c. Harus didirikan satu kantor pusat distribusi film jang langsung dibawah pengawasan pemerintah dan dewan film. d. Politik import film harus sedjalan dengan sistem jang memberi kemungkinan2 export, terutama dengan negara2 dalam lingkungan Asia Afrika. e. Sistem dan dasar sensor harus diletakkan atas dasar2 pokok jang tersebut diatas, dan dilakukan oleh ahli2 baik ia pegawai ataupun bukan. f. Memberikan kesempatan pada artis2 film untuk mendjelmakan kreasi2 baru dan memberikan dorongan untuk mentjapai nilai artistik jang berarti. g. Mengirimkan peladjaran2 dengan tidak memansang negeri dan aliran politik. h. Menyediakan dana bantuan dsbnja, jang dapat membentu producer dan memberikan proteksi2 seperlunya pada industri film. Itulah pokok2 djalan keluar dari kesulitan sekarang. Djakarta, 30 Maret 1957

Nonton KCB, JK Pulang, Manohara Datang



Jakarta - Gala premier 'Ketika Cinta Bertasbih' (KCB) tak hanya ditonton Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Manohara Odelia Pinot, yang mengaku menjadi korban penyiksaan Pangeran Kelantan Tengku Tumenggong M Fakhry juga menyaksikan acara itu.

Pantauan detikcom di lokasi acara gala premier KCB, Studio XXI Plaza EX, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (9/6/2009) malam, JK datang ke studio didampingi istrinya Mufidah.

Tampak juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik dan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, serta beberapa artis pendukung KCB.

Film diputar sekitar pukul 21.00 WIB, sekitar 15 menit kemudian JK pun meninggalkan lokasi. Namun, sang istri Mufidah tetap melanjutkan menonton film yang mengambil lokasi syuting di Mesir itu.

Informasi yang dikumpulkan detikcom, JK dijadwalkan menghadiri acara pelantikan relawan JK-Wiranto di Hotel Grand Sahid Jaya, Jl Jend Sudirman, Jakarta Pusat yang waktunya berhimpitan, sekitar pukul 21.00 WIB.

Beberapa menit setelah JK keluar, tampak Manohara didampingi ibunya Daisy Fajarina datang. Manohara tampak cantik mengenakan blus hijau dan celana kain hitam.

Menyikapi Perkembangan Film Lokal

Film lokal sedang menguasai ruang pertunjukan film layar lebar Indonesia. Lihat saja, Film yang dipampang di ruang pertunjukan yang ada di mall sampai gedung pertunjukan papan bawah. Orang-orang yang bergelut di dunia perfilman bisa berbangga hati. Seorang pembuat film begitu senangnya ketika Bapak Presiden dan Wakilnya, ketua MPR, para diplomat berlomba-lomba nonton film. Film dengan judul Ayat-Ayat Cinta menjadi tontonan yang membuat demam, “demam Ayat-Ayat Cinta”. Toh tanpa ”suguhan seks yang menantang” film itu laris manis.
Sayangnya perkembangan film tersebut tidak begitu saja membuat para Sineas lainnya tidak mencoba menghasilkan film yang lebih baik, film yang diisi dengan nilai-nilai tertentu, film bernuansa pendidikan tentunya. Mau bukti, lihat saja Film Kawin Kontrak, lihat saja film Drof Out, lihat saja berbagai film horor. Apakah film itu bagus? Terserah para pembaca menilainya. Kalau Si pembuat film tidak bisa membuat film langsung bagus, ya jangan membuat film yang jelek.
Penulis membaca isi berita tentang sensor film (1/4/2008) yang masih menjadi perdebatan. Kenapa sensor film harus diperdebatkan? Sensor film dicurigai bakal mengahambat perkembangan film Indonesia yang sedang terbang tinggi diatas awan. Ada juga yang khawatir filmnya dipotong pada bagian adegan-adegan penting, ditakutkan malah merusak isi film. Ada juga yang bilang, film harusnya bisa dibuat dengan bebas.
Film yang dibuat dengan bagus dan berkualitas tentunya tidak takut diberangus, tidak takut dipotong, intinya jangan curiga lembaga sensor berbuat buruk pada film yang mau disebarkan ke ranah publik. Lembaga Sensor Film tentu saja tidak akan membunuh perkembangan film Indonesia. Menyikapi industri film yang sedang pesat, bukan berarti membuat film dengan seenak udel.
Film bergenre hantu yang syarat dengan ketidakmungkinn di dunia sebenarnya, film berbau seks membuat perempuan menjadi korban objek tontonan. Para pembuat dan pemain Film bergenre seks malah dengan angkuhnya mengatakan film itu syarat dengan Pembelajaran seks. Pembelanjaran seks? Film tersebut malah mengajarkan tentang seks yang mudah diakses dan begitu nikmat. Lihat saja, film Kawin Kontrak dengan adegan film yang mencontohkan siswa SMU yang baru lulus begitu nafsunya memeluk ibu gurunya dan malah kawin kontrak dengan perempuan desa yang ”aduhai”. Lihat saja, film Drop out yang diperankan oleh salah satu pakar seks. Apakah itu pembelajaran seks. Para pembaca yang pernah menonton bisa menilai sendiri film tersebut.
Film yang menjadi bagian industri seperti dibuat dengan tujuan nafsu meraup keuntungan dengan cara apapun, menampilkan pembodohan melalui hantu konyol, menampilkan ketelanjangan perempuan, menampilkan hura-hura yang dipaparkan secara berlebihan malah dihalalkan begitu saja. Film yang sangat identik dengan industri malah menjadi penyuguh pemberangusan ide si pembuat film. Sebagai seorang penikmat film, penulis setuju dengan pendapat Titi Said (kompas,1/4/2008), ”membuat film boleh bebas merdeka, tetapi ketika masuk ranah publik, ada aturannya”. Pernyataan ketua Lembaga Sensor Film itu patut didengar dan diacungi jempol. Menurut penulis, Film Yang dibuat alangkah baiknya penuh syarat pengetahuan, nilai positif, dan membimbing ke arah kemajuan berpikir. Penulis pikir para pembuat bukan tidak mampu membuat film yang lebih baik, mereka lebih tertarik dengan keuntungan dari film-film jelek tersebut.

Kisah di Balik Film "Laskar Pelangi"

Film Laskar Pelangi karya sutradara Riri Riza tidak hanya membekas di hati penonton seperti yang banyak diungkapkan, namun juga menorehkan kenangan di hati para pembuat film dan pemainnya.

Bintang film, Ikranagara yang berperan sebagai Harfan, tokoh Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Gantong, mengaku memiliki kesan tersendiri bermain dalam film yang diadaptasi dari novel laris karya Andrea Hirata ini.

"Terus terang film ini sangat berkesan bagi saya. Dalam film Laskar Pelangi saya harus menyesuaikan diri dengan keadaan di Belitung, berbicara bahasa daerah itu, dan bahkan membeli kamus Bahasa Belitung," kata aktor kawakan yang juga sutradara film ini.

Ikra yang telah sembilan tahun terakhir tinggal di Washington DC ini mengaku sebenarnya ingin berhenti dari keterlibatan di film.

"Saya sebenarnya sudah tidak ingin kembali ke film, sudah tua. Ada generasi-generasi muda yang lebih baik," ujarnya.

Dengan pandangan menerawang Ikra memutar kembali ingatannya ketika suatu hari mendapat tawaran untuk bermain dalam film Laskar Pelangi.

"Suatu hari Riri menghubungi saya dan mengajak saya main film yang diangkat dari novel laris `Laskar Pelangi`, tapi karena saya tidak tahu banyak soal perkembangan sastra Indonesia beberapa tahun terakhir, saya mencoba mencari tahu tentang pengarang dan novelnya," ujar Ikra.

Seperti halnya Ikra, film "Laskar Pelangi" juga membawa kesan mendalam di hati Cut Mini, pemeran Ibu Guru Muslimah yang mengajar di SD Muhammadiyah Gantong. Ia mengaku sangat antusias menyambut tawaran bermain dalam film ini karena sudah lama memimpikan bisa bermain dalam film dengan sutradara Riri Riza.

"Meskipun jadwal latihannya terhitung singkat, sekitar tiga minggu, saya berkali-kali latihan sendiri, belajar logat dialog Belitung dengan cara memanggil guru yang mau membacakan dialog Belitung. Suaranya saya rekam dan setiap hari saya dengarkan untuk latihan," ujar perempuan kelahiran 30 Desember 1973 ini.

Ia melanjutkan, kenangan tak terlupakan dalam film ini adalah ketika melakukan adegan paling sulit, yakni beradu akting dengan Bakri (Rifnu Wikana), guru SD Muhammadiyah yang memutuskan berhenti mengajar.

"Waktu itu emosi saya terlalu tinggi, sulit menahan diri untuk tidak menangis, dan akhirnya saya menyerah. Rasanya bodoh sekali, sekaligus kasihan pada Mas Riri Riza dan para kru yang sudah susah payah menata set di tengah teriknya matahari Belitung," katanya.


Penuh Tantangan

Produser film "Laskar Pelangi", Mira Lesmana dan sang sutradara, Riri Riza mengakui tidak mudah memindahkan cerita dari 529 halaman novel ke medium layar lebar atau film.

Alasan itu pula yang akhirnya memuat kedua sineas muda Indonesia ini terus-menerus melakukan perbaikan pada skenario hingga akhirnya naskah draft ke-11 diserahkan ke Andrea Hirata.

Mira mengungkapkan proses bedah naskah itu memerlukan waktu hampir satu tahun lamanya. Penulisan naskah dilakukan Salman Aristo yang sebelumnya menulis naskah film adaptasi novel islami berjudul "Ayat-ayat Cinta" dan film remaja "Jomblo".

Salman mengungkapkan tantangan terbesar dalam penggarapan naskah novel Laskar Pelangi adalah struktur cerita yang melompat-lompat, sedangkan ia bekerja dengan batasan durasi film.

Tantangan berikutnya, menurut Mira, adalah menemukan anak-anak yang akan berperan sebagai anggota Laskar Pelangi. Proses pemilihan pemain dimulai Desember 2007 dan selesai pada Maret 2008.

Melalui Ismoyo, pembuat film lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang berasal dari Belitung, maka proses pemilihan pemain mulai dilakukan di sekolah, pasar, dan tempat keramaian dengan fokus di daerah Tanjung Pandang, Manggar dan Gantong.

"Proses pemilihan pemain ini dilakukan tanpa ada pengumuman sebelumnya, Ismoyo yang berkeliling mencari anak-anak itu dan melatih mereka untuk berdialog dan membaca naskah," ujar Mira.

Ia melanjutkan, ada banyak kenangan manis bersama anak-anak Belitung tersebut selama proses syuting. Ada anak-anak yang datang naik sepeda, bahkan ada yang masuk ruang casting dengan baju basah karena keringat habis main bola.

"Rasa ingin tahu mereka sangat besar walau mungkin karena tidak satu pun dari mereka pernah masuk bioskop, sama sekali tak tersirat adanya keinginan menjadi bintang film," ujar Mira menjelaskan.

Riri Riza menambahkan masing-masing anak tersebut memiliki bakat tersendiri dan masing-masing mempunyai latar belakang yang serupa dengan tokoh yang diperankan, yakni mengalami pahit manisnya hidup sebagai masyarakat Belitung.

Ia mencontohkan Verrys (pemeran Mahar) dan Rama (pemeran Trappani) yang datang dari keluarga sangat sederhana. Sementara Yogi sebagai Kucai yang masih kecil itu sudah bekerja sambilan sebagai tukang parkir.

"Kalau Jeffry yang berperan sebagai Harun, dia adalah anak berkebutuhan khusus yang kami temukan di sebuah sekolah luar biasa di Tanjung Pandan," ujar Riri.

Film "Laskar Pelangi" lahir dari novel dengan judul yang sama karya Andrea Hirata yang difilmkan oleh sutradara Riri Riza (dengan judul sama, red) di bawah bendera Miles Films dan Mizan Production.

Laskar Pelangi adalah kisah nyata tentang persahabatan sejumlah siswa SD Muhammadiyah Gantong di Belitung yakni Ikal (Zulfanny), Mahar (Verry S Yamarno), Lintang (Ferdian), Kucai (Yogi Nugraha), Syahdan (M Syukur Ramadan), A Kiong (Suhendri), Borek (Febriansyah), Harun (Jeffry Yanuar), Trapani (Suharyadi Syah Ramadhan), dan Sahara (Dewi Ratih Ayu Safitri).

Masing-masing anak yang memiliki keunikan dan keistimewaan ini berjuang untuk terus bisa sekolah, di tengah tantangan berat yang mereka hadapi. Seperti kisah pilu Lintang yang putus sekolah setelah ayahnya meninggal. Ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah demi bekerja menghidupi tiga adik perempuannya.

Ikal yang hidup dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan tetap bertekad sekolah dan meraih cita-cita kuliah di Perancis, dan semangat ibu guru Muslimah mendapatkan murid di tengah ancaman sekolah yang akan ditutup.

Segala persoalan dan tantangan itu akhirnya dapat diatasi oleh Ikal, Mahar, dan Lintang dengan bakat dan kecerdasan yang muncul sebagai pendorong semangat mereka.

Film "Laskar Pelangi" merupakan sebuah adaptasi sinema yang mengambil waktu di akhir tahun 1970an. Film ini dipenuhi kisah masyarakat pinggiran, perjuangan hidup menggapai mimpi yang mengharukan, serta persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia, Belitung.

Novel Laskar Pelangi ini adalah memoar Andrea Hirata. Ikal adalah sosok masa kecil Andrea yang dengan keterbatasan ekonomi keluarga dan ancaman putus sekolah, terus berusaha dan berdoa menggapai cita-citanya bersekolah ke Perancis.

Harapan tersebut pada akhirnya dapat diraih Andrea yang benar-benar berhasil melanjutkan studi ke Perancis kemudian perjalanan hidupnya itu dituangkan dalam novel berjudul Laskar Pelangi. (*

Minggu, 14 Juni 2009

Kontribusi Seni Audio Visual

Di tengah berbagai krisis yang melanda bangsa Indonesia bertubi-tubi dan demokrasi belum mampu menyatakan kehendaknya dan justru penuh tipu daya. Kehadiran film atau seni audio visual yang menurut Agni Ariatama & Marselli Sumarno “hasil kreasi industri kreatif ataupun industri budaya” (Industri Film, Negara, dan Pendidikan, KOMPAS, Minggu, 16 Maret 2008) melalui media televisi, tak pelak menjadi sarana relaksasi, mungkin juga katarsis yang begitu diminati masyarakat bangsa.

Deduksi tersebut berangkat dari mayoritas film atau seni audio visual Indonesia sebagai hasil (berbalik dengan pernyataan di atas) kreasi kreatif industri atau budaya industri dalam berbagai bentuknya, seperti FTV atau sinetron dengan beragam genre berhasil menjadi ‘referent power’ dengan hulu ruang-ruang keluarga dan bermuara di ruang-ruang publik atau lingkungan yang merupakan basic terkuat pendidikan (baca: non formal), yang praktis, mempunyai peran penting bagi pembentukan karakter individu-individu di dalamnya.

Tapi karakter-karakter yang terbentuk atau dibentuk bukan ‘hero’, atau yang dalam demokrasi bernama oposisi atau aktivis. Melainkan karakter tanpa ruh tangguh yang meragukan mampu dan mau ambil bagian menjawab persoalan multikrisis di tubuh negara bangsa Indonesia. Dan pelak, meragukan terwujudnya: “Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual.”

Lantas, di manakah nilai tingginya seni selain merunut (tanpa bermaksud mendeifikasi) aspek-aspek tersebut di atas berumah pada seni? Pada kenyataannya, kontribusi film atau seni audio visual Indonesia yang didistribusikan melalui industri televisi mayoritas bersifat represif terhadap norma-norma sosial, humanisme dan intelektualitas. Tidak lagi “berpegang pada norma-norma yang tidak merendahkan kebudayaan dan tata hidup bangsa indonesia dan tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila”. Kejahatan intelektual yang melahirkan deduksi jika esensi seni, sebagaimana paragraf awal lagu Internasionale, telah berganti rupa, menjadi: seni adalah usaha menciptakan sesuatu bernilai jual yang bebas dari akal dan moral yang sehat!

Mengapa film atau seni audio visual Indonesia menetapkan diri untuk bertekuk lutut pada industri, menutup cakrawala-cakrawala kebudayaan, filosofi, pengetahuan, sosial, humanisme dan intelektualitas dengan fantasi, fiksi atau imajinasi yang mengabaikan edukasi sebagai bekal humanisme-intelektual sebuah negara bangsa? Adakah hal tersebut konsekuensi logis percumbuan film atau seni audio visual dengan industri di ruang modernisasi dan globalisasi? Benarkah retardasi atau reumatismos tersebut sebab telivisi semata?

Dalam drama keseharian, karakter-karakter yang dihasilkan film atau seni audio visual yang memburu kuantitas dengan iman egoistis-individualisme dan kiblat industrialisasi adalah karakter yang gagap mendefinisikan diri dan tidak mempunyai visi sebagaimana puisi. Karakter-karakter yang dengan genit, dengan lugu yang terperdaya hanya mampu membangun ruang diskusi baru dan tidak penting bernama gosip. Penuh andaikata dan kontaminasi imajinasi praktis. Dari keberuntungan-mistis dan mujikzat religi super instan. Sampai parade euforia yang menekankan penampilan fisik. Sehingga tanpa sadar, menanggalkan kenyataan-kenyataan yang lebih penting semacam artikulasi sebuah aforisme: Hidup adalah masalah keyakinan. Bagaimana menjalankannya tidak dengan kaki?

“Sandal Jepit” Film Terbaik PFF 2009

PURBALINGGA – Dewan juri dan penonton Purbalingga Film Festival (PFF) 2009 kompak memilih film “Sandal Jepit” karya sutradara Bani Dwi K dari Masih Timur Film SMA Negeri 1 Purbalingga sebagai Film Terbaik I dan Film Favorit Penonton. Sementara, film “Bumi Masih Berputar” karya sutradara Shella Ardila dari Brownie Film SMA Negeri 2 Purwokerto meraih penghargaan Film Terbaik II.

Pengumuman pemenang yang dilangsungkan di malam penghargaan PFF, Sabtu, 23 Mei 2009, di Aula Hotel Kencana itu, diwarnai dengan pekik para peserta kompetisi dan sorak penonton, yang sebagian menjadi suporter 10 film peserta kompetisi.

Berbeda dari berbagai ajang festival lainnya, puncak ajang yang dilangsungkan sejak Kamis, 21 Mei itu dimeriahkan oleh penyanyi dangdut. “Seluruhnya ada 45 film dari Banyumas Besar, nasional dan internasional yang diputar selama tiga hari,” ungkap Direktur PFF Bowo Leksono.

Penonton PFF mengumpulkan jajak pendapat dan menempatkan “Sandal Jepit” sebagai Film Favorit peraih enghargaan penyelenggara, Cinema Lovers Community (CLC) Award.

Secara terpisah, Dewan Juri yang terdiri dari Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsoed Indaru Setyo Nurprojo, budayawan Purbalingga Teguh Trianton, dan Direktur Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) Sihar Sinomae, juga menempatkan film tersebut sebagai film terbaik.

“Kualitasnya melompat dari 9 kompetitornya. Ide ceritanya kuat dan orisinil, cara bertuturnya runtut. Saat menonton, saya dibuat tenggelam di dalamnya,” ujar Teguh Trianton.