Rabu, 17 Juni 2009

Menyikapi Perkembangan Film Lokal

Film lokal sedang menguasai ruang pertunjukan film layar lebar Indonesia. Lihat saja, Film yang dipampang di ruang pertunjukan yang ada di mall sampai gedung pertunjukan papan bawah. Orang-orang yang bergelut di dunia perfilman bisa berbangga hati. Seorang pembuat film begitu senangnya ketika Bapak Presiden dan Wakilnya, ketua MPR, para diplomat berlomba-lomba nonton film. Film dengan judul Ayat-Ayat Cinta menjadi tontonan yang membuat demam, “demam Ayat-Ayat Cinta”. Toh tanpa ”suguhan seks yang menantang” film itu laris manis.
Sayangnya perkembangan film tersebut tidak begitu saja membuat para Sineas lainnya tidak mencoba menghasilkan film yang lebih baik, film yang diisi dengan nilai-nilai tertentu, film bernuansa pendidikan tentunya. Mau bukti, lihat saja Film Kawin Kontrak, lihat saja film Drof Out, lihat saja berbagai film horor. Apakah film itu bagus? Terserah para pembaca menilainya. Kalau Si pembuat film tidak bisa membuat film langsung bagus, ya jangan membuat film yang jelek.
Penulis membaca isi berita tentang sensor film (1/4/2008) yang masih menjadi perdebatan. Kenapa sensor film harus diperdebatkan? Sensor film dicurigai bakal mengahambat perkembangan film Indonesia yang sedang terbang tinggi diatas awan. Ada juga yang khawatir filmnya dipotong pada bagian adegan-adegan penting, ditakutkan malah merusak isi film. Ada juga yang bilang, film harusnya bisa dibuat dengan bebas.
Film yang dibuat dengan bagus dan berkualitas tentunya tidak takut diberangus, tidak takut dipotong, intinya jangan curiga lembaga sensor berbuat buruk pada film yang mau disebarkan ke ranah publik. Lembaga Sensor Film tentu saja tidak akan membunuh perkembangan film Indonesia. Menyikapi industri film yang sedang pesat, bukan berarti membuat film dengan seenak udel.
Film bergenre hantu yang syarat dengan ketidakmungkinn di dunia sebenarnya, film berbau seks membuat perempuan menjadi korban objek tontonan. Para pembuat dan pemain Film bergenre seks malah dengan angkuhnya mengatakan film itu syarat dengan Pembelajaran seks. Pembelanjaran seks? Film tersebut malah mengajarkan tentang seks yang mudah diakses dan begitu nikmat. Lihat saja, film Kawin Kontrak dengan adegan film yang mencontohkan siswa SMU yang baru lulus begitu nafsunya memeluk ibu gurunya dan malah kawin kontrak dengan perempuan desa yang ”aduhai”. Lihat saja, film Drop out yang diperankan oleh salah satu pakar seks. Apakah itu pembelajaran seks. Para pembaca yang pernah menonton bisa menilai sendiri film tersebut.
Film yang menjadi bagian industri seperti dibuat dengan tujuan nafsu meraup keuntungan dengan cara apapun, menampilkan pembodohan melalui hantu konyol, menampilkan ketelanjangan perempuan, menampilkan hura-hura yang dipaparkan secara berlebihan malah dihalalkan begitu saja. Film yang sangat identik dengan industri malah menjadi penyuguh pemberangusan ide si pembuat film. Sebagai seorang penikmat film, penulis setuju dengan pendapat Titi Said (kompas,1/4/2008), ”membuat film boleh bebas merdeka, tetapi ketika masuk ranah publik, ada aturannya”. Pernyataan ketua Lembaga Sensor Film itu patut didengar dan diacungi jempol. Menurut penulis, Film Yang dibuat alangkah baiknya penuh syarat pengetahuan, nilai positif, dan membimbing ke arah kemajuan berpikir. Penulis pikir para pembuat bukan tidak mampu membuat film yang lebih baik, mereka lebih tertarik dengan keuntungan dari film-film jelek tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar