Di tengah berbagai krisis yang melanda bangsa Indonesia bertubi-tubi dan demokrasi belum mampu menyatakan kehendaknya dan justru penuh tipu daya. Kehadiran film atau seni audio visual yang menurut Agni Ariatama & Marselli Sumarno “hasil kreasi industri kreatif ataupun industri budaya” (Industri Film, Negara, dan Pendidikan, KOMPAS, Minggu, 16 Maret 2008) melalui media televisi, tak pelak menjadi sarana relaksasi, mungkin juga katarsis yang begitu diminati masyarakat bangsa.
Deduksi tersebut berangkat dari mayoritas film atau seni audio visual Indonesia sebagai hasil (berbalik dengan pernyataan di atas) kreasi kreatif industri atau budaya industri dalam berbagai bentuknya, seperti FTV atau sinetron dengan beragam genre berhasil menjadi ‘referent power’ dengan hulu ruang-ruang keluarga dan bermuara di ruang-ruang publik atau lingkungan yang merupakan basic terkuat pendidikan (baca: non formal), yang praktis, mempunyai peran penting bagi pembentukan karakter individu-individu di dalamnya.
Tapi karakter-karakter yang terbentuk atau dibentuk bukan ‘hero’, atau yang dalam demokrasi bernama oposisi atau aktivis. Melainkan karakter tanpa ruh tangguh yang meragukan mampu dan mau ambil bagian menjawab persoalan multikrisis di tubuh negara bangsa Indonesia. Dan pelak, meragukan terwujudnya: “Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual.”
Lantas, di manakah nilai tingginya seni selain merunut (tanpa bermaksud mendeifikasi) aspek-aspek tersebut di atas berumah pada seni? Pada kenyataannya, kontribusi film atau seni audio visual Indonesia yang didistribusikan melalui industri televisi mayoritas bersifat represif terhadap norma-norma sosial, humanisme dan intelektualitas. Tidak lagi “berpegang pada norma-norma yang tidak merendahkan kebudayaan dan tata hidup bangsa indonesia dan tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila”. Kejahatan intelektual yang melahirkan deduksi jika esensi seni, sebagaimana paragraf awal lagu Internasionale, telah berganti rupa, menjadi: seni adalah usaha menciptakan sesuatu bernilai jual yang bebas dari akal dan moral yang sehat!
Mengapa film atau seni audio visual Indonesia menetapkan diri untuk bertekuk lutut pada industri, menutup cakrawala-cakrawala kebudayaan, filosofi, pengetahuan, sosial, humanisme dan intelektualitas dengan fantasi, fiksi atau imajinasi yang mengabaikan edukasi sebagai bekal humanisme-intelektual sebuah negara bangsa? Adakah hal tersebut konsekuensi logis percumbuan film atau seni audio visual dengan industri di ruang modernisasi dan globalisasi? Benarkah retardasi atau reumatismos tersebut sebab telivisi semata?
Dalam drama keseharian, karakter-karakter yang dihasilkan film atau seni audio visual yang memburu kuantitas dengan iman egoistis-individualisme dan kiblat industrialisasi adalah karakter yang gagap mendefinisikan diri dan tidak mempunyai visi sebagaimana puisi. Karakter-karakter yang dengan genit, dengan lugu yang terperdaya hanya mampu membangun ruang diskusi baru dan tidak penting bernama gosip. Penuh andaikata dan kontaminasi imajinasi praktis. Dari keberuntungan-mistis dan mujikzat religi super instan. Sampai parade euforia yang menekankan penampilan fisik. Sehingga tanpa sadar, menanggalkan kenyataan-kenyataan yang lebih penting semacam artikulasi sebuah aforisme: Hidup adalah masalah keyakinan. Bagaimana menjalankannya tidak dengan kaki?
"mengapa fiLm atau seni AV Indonesia menetapkan diri untuk bertekuk Lutut pada Industri??"
BalasHapusPertanyaan itu perLu dipertanyakan pada banyak rumah produksi di Indonesia. .
banyaknya sinetron kejar tayang yg hanya memberikan kuantitas dan bukan kuaLitas itu sebagai contoh. .
Tapi menurut saya, Indonesia juga ga bisa Lari dari tayangan2 tsb, kakrena udah membudaya. .
dan budaya itu suLit sekaLi untuk dihiLangkan. .
TinggaL kitanya saja sebagai anak2 Audio VisuaL,bagaimana menanggapi permasaLahan tersebut. . Hhe. .
yupz...seepp
BalasHapus